Masjid Ikonik Rokan Hilir Diselimuti Asap Hitam, Warga Simpang Kanan Teriak: PT SKL Harus Dievaluasi!
Rokan Hilir – Simbol kebanggaan masyarakat Kecamatan Simpang Kanan, Masjid Agung Al-Muhajirin, kini justru menjadi saksi bisu kegelapan. Bukan karena lampu padam, melainkan karena asap hitam pekat dan abu halus yang setiap hari menyelimuti rumah ibadah tersebut. Lantai masjid, pelataran, hingga rumah-rumah warga sekitar tak lagi bersih—semuanya terpapar butiran hitam yang diduga berasal dari aktivitas PT SKL, sebuah perusahaan asing yang beroperasi di tengah pemukiman warga. Minggu 7 September 2025.
Masyarakat menyebut, pencemaran ini bukan hanya merusak keindahan dan kenyamanan, tapi juga mengancam kesehatan. Anak-anak mulai batuk, pernapasan sesak, dan sumber air diduga tercemar. "Bayangkan, masjid tempat kami beribadah pun jadi hitam. Apa ini bukan bentuk penistaan terhadap lingkungan dan kehidupan warga?" ujar seorang tokoh masyarakat dengan suara bergetar.
D
inas Lingkungan Hidup (DLH) Rokan Hilir sebelumnya telah mengambil sampel udara dan air di wilayah terdampak. Hasil sementara menunjukkan indikasi pencemaran serius. DLH bahkan menyarankan agar wilayah sekitar PT SKL masuk ke dalam kategori "Ring 1 Terdampak".
Namun, saat masyarakat mencoba bermediasi dengan pihak perusahaan, bukan solusi yang didapat, melainkan ancaman. Pihak manajemen PT SKL diduga malah menghadirkan aparat kepolisian dalam forum tersebut, membuat warga takut bersuara. "Kami bukan penjahat, kami bukan teroris. Kami hanya menuntut lingkungan yang sehat. Kehadiran polisi di ruang mediasi itu jelas bentuk intimidasi," tegas perwakilan warga.
Ironisnya, saat ditanya soal izin usaha dan dokumen persetujuan masyarakat, perusahaan tak mampu menunjukkannya. Warga yang sudah bermukim lebih dari 40 tahun menegaskan, tidak pernah menandatangani persetujuan pendirian pabrik kelapa sawit (PKS) di tengah permukiman.
Kasus ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya:
Pasal 65 ayat (1): Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Pasal 69 ayat (1): Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Pasal 98 ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang lain kehilangan nyawa atau luka berat, dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda Rp3 miliar sampai Rp10 miliar.
Dengan dasar hukum tersebut, masyarakat menuntut agar DPRD Kabupaten Rokan Hilir segera memanggil PT SKL beserta instansi perizinan terkait melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP). "Jika izinnya bermasalah, maka tak ada alasan untuk tidak dicabut. Kami tidak butuh perusahaan asing yang mengorbankan kesehatan kami," kata warga.
Harapan masyarakat kini tertuju pada Bupati Rokan Hilir H. Bistamam dan Wakil Bupati Jhony Charles. Warga meminta komitmen mereka dalam menepati janji politik: menjadikan wilayah perbatasan dan pesisir sebagai "halaman depan" kabupaten, bukan kubangan penderitaan akibat pencemaran.
"Pak Bupati, janji adalah hutang. Jangan biarkan masyarakat mati pelan-pelan hanya karena perusahaan yang izinnya diduga cacat hukum," ujar warga penuh emosi.
Masyarakat Simpang Kanan juga menyinggung langkah tegas Bupati Siak yang berani mencabut izin perusahaan yang menzalimi rakyat. "Kalau Siak bisa, kenapa Rokan Hilir tidak? Kami yakin pejabat berwenang mampu menjawab aspirasi ini," tegas perwakilan tokoh pemuda.
Hingga kini, masyarakat terdampak belum menerima kompensasi apapun. Sebaliknya, yang mereka terima hanya abu, asap, dan ancaman penyakit.
Kasus ini bukan sekadar soal pencemaran, tapi soal martabat manusia. Rasulullah SAW bersabda: "Katakanlah kebenaran walau itu pahit." Dan kini, warga Simpang Kanan memilih menyuarakan kebenaran pahit itu: PT SKL telah meracuni kehidupan mereka.
Rokan Hilir – Simbol kebanggaan masyarakat Kecamatan Simpang Kanan, Masjid Agung Al-Muhajirin, kini justru menjadi saksi bisu kegelapan. Bukan karena lampu padam, melainkan karena asap hitam pekat dan abu halus yang setiap hari menyelimuti rumah ibadah tersebut. Lantai masjid, pelataran, hingga rumah-rumah warga sekitar tak lagi bersih—semuanya terpapar butiran hitam yang diduga berasal dari aktivitas PT SKL, sebuah perusahaan asing yang beroperasi di tengah pemukiman warga. Minggu 7 September 2025.
Masyarakat menyebut, pencemaran ini bukan hanya merusak keindahan dan kenyamanan, tapi juga mengancam kesehatan. Anak-anak mulai batuk, pernapasan sesak, dan sumber air diduga tercemar. "Bayangkan, masjid tempat kami beribadah pun jadi hitam. Apa ini bukan bentuk penistaan terhadap lingkungan dan kehidupan warga?" ujar seorang tokoh masyarakat dengan suara bergetar.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Rokan Hilir sebelumnya telah mengambil sampel udara dan air di wilayah terdampak. Hasil sementara menunjukkan indikasi pencemaran serius. DLH bahkan menyarankan agar wilayah sekitar PT SKL masuk ke dalam kategori "Ring 1 Terdampak".
Namun, saat masyarakat mencoba bermediasi dengan pihak perusahaan, bukan solusi yang didapat, melainkan ancaman. Pihak manajemen PT SKL diduga malah menghadirkan aparat kepolisian dalam forum tersebut, membuat warga takut bersuara. "Kami bukan penjahat, kami bukan teroris. Kami hanya menuntut lingkungan yang sehat. Kehadiran polisi di ruang mediasi itu jelas bentuk intimidasi," tegas perwakilan warga.
Ironisnya, saat ditanya soal izin usaha dan dokumen persetujuan masyarakat, perusahaan tak mampu menunjukkannya. Warga yang sudah bermukim lebih dari 40 tahun menegaskan, tidak pernah menandatangani persetujuan pendirian pabrik kelapa sawit (PKS) di tengah permukiman.
Kasus ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya:
Pasal 65 ayat (1): Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Pasal 69 ayat (1): Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Pasal 98 ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang lain kehilangan nyawa atau luka berat, dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda Rp3 miliar sampai Rp10 miliar.
Dengan dasar hukum tersebut, masyarakat menuntut agar DPRD Kabupaten Rokan Hilir segera memanggil PT SKL beserta instansi perizinan terkait melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP). "Jika izinnya bermasalah, maka tak ada alasan untuk tidak dicabut. Kami tidak butuh perusahaan asing yang mengorbankan kesehatan kami," kata warga.
Harapan masyarakat kini tertuju pada Bupati Rokan Hilir H. Bistamam dan Wakil Bupati Jhony Charles. Warga meminta komitmen mereka dalam menepati janji politik: menjadikan wilayah perbatasan dan pesisir sebagai "halaman depan" kabupaten, bukan kubangan penderitaan akibat pencemaran.
"Pak Bupati, janji adalah hutang. Jangan biarkan masyarakat mati pelan-pelan hanya karena perusahaan yang izinnya diduga cacat hukum," ujar warga penuh emosi.
Masyarakat Simpang Kanan juga menyinggung langkah tegas Bupati Siak yang berani mencabut izin perusahaan yang menzalimi rakyat. "Kalau Siak bisa, kenapa Rokan Hilir tidak? Kami yakin pejabat berwenang mampu menjawab aspirasi ini," tegas perwakilan tokoh pemuda.
Hingga kini, masyarakat terdampak belum menerima kompensasi apapun. Sebaliknya, yang mereka terima hanya abu, asap, dan ancaman penyakit.
Kasus ini bukan sekadar soal pencemaran, tapi soal martabat manusia. Rasulullah SAW bersabda: "Katakanlah kebenaran walau itu pahit." Dan kini, warga Simpang Kanan memilih menyuarakan kebenaran pahit itu: PT SKL telah meracuni kehidupan mereka.